Transformasi digital saat pandemi Covid 19 bukan lagi menjadi pilihan, namun sudah menjadi keharusan bagi industri dan korporasi. "Organisasi mau tidak mau harus mengakselerasi adopsi teknologi dan digital agar operasional bisa tetap berjalan," kata Head of Consulting RSM Indonesia Angela Simatupang, Senin (27/12/2021). Menurutnya, pada tahun depan terdapat dua risiko utama pada teknologi informasi (TI), yaitu cyber risk (risiko dunia maya) dan data privacy risk (risiko data pribadi).
Sehingga, kata Angela, jika organisasi punya security dan proses yang memadai serta didukung personil yang paham, maka mengurangi eksposur atau dampak yang dihadapi ketika terkena serangan. "Walaupun cyber insurance semakin marak, namun itu tidak dapat sepenuhnya mentransfer risiko, karena dampak dari serangan siber dan kebocoran data sangat besar terhadap reputasi dan kepercayaan organisasi, sehingga lebih penting untuk menguatkan dan terus memperbaiki proses dan memperkuat pengendalian," paparnya. Senior Manager Technology Risk Consulting Practice RSM Indonesia Erikman Pardamean menambahkan, dari hasil survei RSM Indonesia ke beberapa perusahaan, diprediksi 68 persen perusahaan merasa akan adanya cyber attack pada 2022.
Ia menyebut, sebesar 3 persen malware akan menjadi potensi cyber attack terbesar, yang mengakibatkan 46 persen akan menutup kegiatan operasional dalam organisasi dan 29 persen lainnya merasakan financial loss atau merugi. "Hanya 25 persen perusahaan yang sudah menggunakan cyber insurance, 57 persen perusahaan tidak menggunakan cyber insurance, dan 18 persen lainnya tidak yakin dengan penggunaan cyber insurance," ujar Erikman. Berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), pada tahun ini setidaknya sebanyak 994,581,569 kali telah terjadi cyber attack di Indonesia.
Cyber attack paling banyak terjadi pada Mei 2021, dan malware menjadi top traffic anomaly cyber attack pada tahun ini.